Jakarta - Pemerintah pusat tetap pada pendiriannya bahwa kekuasaan Sultan Yogyakarta dengan gubernur sebagai kepala daerah harus dipisahkan. Gubernur dipilih lewat pilkada.
Namun hal tersebut dinilai tidak akan mungkin terjadi karena rasa ewuh pakewuh (sungkan) terhadap Sri Sultan Hamengku Buwono X membuat warga Yogyakarta tidak ada yang akan mau maju dalam Pilkada Gubernur DIY.
"Kharisma Ngarso Dalem (Sri Sultan) itu masih kuat, jadi kemungkinan malah tidak ada yang maju nyalon untuk jadi gubernur. Di sini budaya ewuh pakewuh kepada Kanjeng Sultan masih dipegang kuat," ujar Koordinator Komite Independen Pengawal Referendum (Kiper), Inung Nurzani, saat berbincang dengan detikcom, Senin (6/12/2010).
Inung juga membantah pernyataan Dirjen Otonomoi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan, yang mengatakan 71 persen rakyat Yogya menginginkan pemilihan langsung. Keabsahan hasil survei yang dipaparkan pejabat eselon satu Kemendagri tersebut patut dipertanyakan.
"Itu survei kapan? Siapa yang melakukan survei? Semuanya serba tidak jelas. Jangan-jangan (survei) itu hanya untuk memecah belah rakyat Yogyakarta," tambahnya.
Inung dan rekan-rekannya dalam Komite bersepakat bila pemerintah pusat dan DPR akhirnya menyetujui opsi pemisahan kekuasaan, maka tidak ada jalan selain referendum. Ribuan relawan pun siap melaksanakan tuntutannya bila apa yang menjadi kehendaknya tidak terwujud.
"Kita akan gelar referendum, pilihannya cuma dua pemilihan langsung atau penetapan. Pilih A atau B, biar jelas mana keinginan rakyat DIY," terangnya.
Pada hari Sabtu (4/12), Dirjen Otonomoi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, dari hasil survei 71 persen rakyat Yogya menghendaki adanya pemilihan langsung. Namun Djohan tidak bisa menyebutkan lembaga survei atau instansi mana yang telah mengeluarkan survei tersebut.
"Saya pernah baca itu tapi lupa dari mana. Bukan pemerintah, saya pernah baca," katanya.
(her/nrl)
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda !